Langsung ke konten utama

Metamorfosis Kehidupan

Metamorfosis Kehidupan 

Hari ini musim panas. Sinar keemasan  menyinari hutan amazon. Udara sejuk serta nyanyian para burung di udara mewarnai musim panas ini. Lalitha, kupu-kupu spesies Blue morpho sedang terbang kesana-kemari. Berjalan-jalan menikmati suasana hutan alam, sambil mencari  sekantung nektar cair. Kupu-kupu bersayap biru metalik itu sangat suka dengan nektar, terutama nektar yang berasal dari bunga matahari.

Namun, ditengah perjalanannya ia tersesat. Ia belum pernah masuk ke wilayah ini. Sungguh gelap dan mengerikan, bahkan cahaya matahari pun tak bisa menembus wilayah ini. Bunga-bunga yang ia cari tak terlihat satu pun, yang ada hanya jejeran pohon beringin yang ditempeli jarring laba-laba. Kemudian sambil mengepakan sayapnya. Ia mencium bau yang sangat-sangat busuk, seperti bau mayat. Dan benar saja, disebelah kirinya terdapat mayat dari seekor rusa, lebih tepatnya daging rusa yang sudah dikunyah. Ia merasa ketakutan. Tubuhnya merinding, menahan suhu udara di wilayah ini. Matanya menahan titih air mata. 

 “Seharusnya aku tidak usah pergi terlalu jauh.” sesalnya dalam hati.

Kemudian matanya melirik ke kanan, menatap sekumpulan hewan yang menggeliat. Tidak bukan cacing, sepertinya itu ulat belatung. Sekumpulan hewan berwarna putih itu memandang aneh pada Lalitha. Seolah-olah Lalitha adalah makhluk asing. Lalitha masih berjalan lurus ke depan dan berharap menemukan jalan keluar dari tempat mengerikan ini.

“Aku harus cepat-cepat pergi dari tempat ini.” ucapnya dalam hati.

Rasa takutnya melilit tubuh serta pikirannya. Suhu dingin membuat sayapnya kaku. Ia mengucapkan seribu kata penyesalan dalam lamunannya, sampai-sampai ia tenggelam dalam lamunannya. Tanpa ia sadari di depannya terdapat sebuah jaring laba-laba. 

Tappp, tubuhnya menabrak jaring yang lentur dan lengket itu. Ia mencoba mengepak-ngepakan sayapnya, sayangnya sayap itu tidak cukup kuat untuk lepas dari lengketnya jaring itu. Ia menggerak-gerakan tubuhnya berusaha keluar. Namun apa daya sekali masuk dalam jurang sulit untuk kembali lagi. Matanya menatap ke langit-langit yang berwarna kelam. Ia hanya bisa mengalirkan sebuah sungai air mata.

“Mungkin aku hanya akan membusuk disini,” ia menyerah. “Atau menjadi makanan dari serangga karnivora.

Ia menundukan kepalanya. Antenanya menggulung kebawah, ia sudah pasrah total. Tak lama kemudian, suara langkah kaki serta suara desis muncul, tepat didepannya. Lalitha tak bisa melihat apa yang ada di depannya, karena setengah jaring itu tertelan oleh gelap.

Ia mengeluarkan nafas lewat mulutnya secara cepat. Jantungnya memompa lima kali lebih cepat. Giginya saling menekan. Ia memejamkan matanya, tak kuasa untuk melihat monster yang ada didepannya.

“Kau sudah habis, Manis...” ucap monster itu.

Ia berjalan perlahan menuju Lalitha. Keenam mata monster itu bercahaya merah. Perlahan kaki-kakinya mulai terlihat. Kepalanya sudah terlihat, dan dia adalah seekor laba-laba. Lalitha hanya bisa terdiam, dan menatap sisa hidupnya yang akan luput dalam sekejap mata.

“Aku sudah terjebak,” kata Lalitha. “Sepertinya aku akan berakhir di sini.”

“Sepertinya kau sudah tak memiliki semangat hidup lagi,” laba-laba itu terkekeh. “Oke.. oke.. aku mulai lapar.”

Lalitha menghela nafas.

“Aku rasa aku akan habis dalam hitungan ketiga.” gumamnya.

Si laba-laba terkekeh-kekeh. Dengan perlahan empat pasang kakinya merayap menuju Lalitha. Tatapannya fokus pada Lalitha. Air liurnya keluar dari mulutnya yang bertaring, ia benar-benar sangat lapar. Si laba-laba semakin mendekat. Kemudian Lalitha memulai hitungannya. Satu.. Dua.. Tiga.. . Sepasang kaki depan si Laba-laba yang lancip mulai menerkam Lalitha. Sehingga sebelah sayapnya terkoyak. Lalitha memejamkan matanya dengan kuat. Ia siap untuk menahan rasa sakit dari taring si laba-laba.

“Hmm, sepertinya akan sangat lezat.”

Laba-laba itu siap menggigit tubuh Lalitha. Tak lama kemudian muncul suara, seperti suara cipratan darah 

Tidak, pikir Lalitha. Ini bukan darahku.

Lalitha pun memberanikan diri untuk membuka mata. Ternyata segumpal jaring laba-laba menempel pada wajah si laba-laba. Entah dari mana asalnya, namun segumpal jaring itu menunda kematian Lalitha.
           
Lalitha menatap heran pada segumpal jaring yang menutup keenam mata laba-laba itu.

“Kau terperangkap jaringmu sendiri?” tanya Lalitha sambil menahan tawa.

Laba-laba itu menggeram, sama seperti deru mobil tahun 50’an. Ia tampak sangat kesal—terjebak dalam jebakannya sendiri.
           
“Tidak,” sela  seekor hewan. Tepat dibelakang Lalitha terdapat laba-laba lain, hanya saja ukurannya lebih kecil dari pada si monster yang tertutupi  jaringnya.

“Aku yang menembakkan jaring itu.” kata laba-laba kecil itu.

Lalitha terkejut. Keringatnya mengalir deras.

“Jika kalian ingin memakan aku,” kata Lalitha. “Sebaiknya kalian jangan berebut.”

“Aku ingin menolongmu,” ucap si laba-laba kecil.

Laba-laba kecil pun menghampiri Lalitha. Ia berusaha memotong jaring dengan kaki depannya yang lancip.
           
“Kamu karnivora kan?” tanya Lalitha heran.
              
“Itu tidak penting.” jawab si laba-laba kecil.
             
 Lalitha melirik si monster yang siap memakannya. Sepertinya monster itu telah membersihkan wajahnya.

“Aku rasa kamu harus cepat-cepat, Pahlawan kecil”
   
Si laba-laba kecil berhasil melepaskan tubuh, kaki, kepala, dan tangan Lalitha dari jaring lengket itu, tinggal sayapnya saja yang masih menempel. Masalahnya, si monster gumpalan jaring sudah melepaskan gumpalan jaringnya.

“Sudah cukup! Aku muak.” ucap si monster.
     
“Sebaiknya kau cepat, atau kau akan jadi menu ekstra.” Lalitha memaksa.

“Ya, dan sebaiknya kau tutup mulutmu, Manis.”
           
Si monster siap menerkam lagi.

“Wah.. Wah.. Hari ini aku akan sangat kenyang.” ucap si monster sambil menjilat bibirnya. Ia pun memasang kuda-kuda pada kaki terbelakangnya, dan melompat kearah Lalitha dan si laba-laba kecil.
            
“Tarik aja aku.” kata Lalitha.

“Tapi nanti sayapmu sobek?”
            
“Tidak apa-apa,” Lalitha menghela nafas. “Itu tidak penting. Nyawa lebih berharga daripada sayap.”
           
“Tapi”
           
“Cepatlah!!!”

Dengan ke empat pasang kakinya si laba-laba kecil, ia berusaha menarik Lalitha. Keringatnya bercucuran pada sekujur tubuh kecilnya. Gigi bagian atas dan bagian bawah saling menekan.

“Sedikit lagi!!!” ucap si laba-laba kecil

“Terlambat, kalian akan mati!” kata si monster.
           
Si monster pun melancarkan serangannya. Dan muncul suara robekan, sama seperti kertas yang dirobek oleh tangan.
           
Sayapku, Lalitha menitihkan air matanya.

Akhirnya Lalitha dan si laba-laba kecil dapat meloloskan diri dari si Monster besar itu. Si laba-laba kecil melompat dari jaring si Monster yang terkoyak. Kemudian ia menembakkan jaringnya pada tangkai pohon beringin diatasnya dan berayun-ayun menjauhi si monster besar itu.

“Hei mana nyalimu?” kesal si Monster besar.
          
“Nyali ku sudah kutunjukan di pertandingan tadi.”
***
Akhirnya Lalitha bisa selamat dari kematiannya. Ia tak berhenti menitihkan air matanya. Merengek-rengek bagaikan bayi ditinggal ibunya pergi.

“Maafkan aku, aku sungguh menyesal.” kata laba-laba kecil.
         
Lalitha memandang enam mata si laba-laba kecil itu. Warna mata itu mirip dengan sayapnya—biru metalik.

“Matamu mirip dengan sayapku.” kata Lalitha.
          
Kemudian si laba-laba kecil tersenyum pada Lalitha.

“Sayapmu pasti akan tumbuh lagi,” kata laba-laba itu. “Mungkin dua kali lebih besar.”
           
Lalitha tersenyum, sama seperti matahari terbit setelah kegelapan yang pekat. Ia merasa senang,

“Kau bukan karnivora kan?” tanya Lalitha. “Oh ya siapa namamu? Kok tiba-tiba menyelamatkan aku?”
       
“Tidak, aku herbivora,” jawab si laba-laba kecil. “Dan namaku adalah Spin. Aku menyelamatkanmu, karena aku tidak tega melihat kau dimakan oleh laba-laba tadi.”
           
Tangan Lalitha terulur padanya, hendak mengajak untuk berjabat tangan. Dan Spin pun menerima ajakan itu. “Terimakasih, Spin” kata Lalitha.

“Sama-sama.” balas Spin.

“Aku berharap kamu bisa jadi orang pertama yang melihat sayapku tumbuh dua kali lebih besar nanti.” kata Lalitha.
          
“Wow!,” seru Spin. “Ini hebat! Aku tidak sabar menunggu.”  
             
“Aku juga.” kata Lalitha.

~TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata-Kata Inspiratif dari Mark Zuckerberg, Seorang Pendiri Facebook serta Milyuner Termuda

Selamat pagi menjelang   siang, Pembaca Setia :D Kata-Kata dari Mark Zuckerberg, Seorang Pendiri Facebook serta Milyuner Termuda

Disiplin vs Motivasi, Mana yang Lebih Kuat?

Halo, Teman-teman, Pagi ini saya akan menulis artikel mengenai Disiplin vs Motivasi. Omong-omong, menurut kamu mana yang lebih kuat? Kedisiplinan atau motivasi? Mungkin jawaban setiap orang akan berbeda. Ada yang mengatakan kedisiplinan atau motivasi. Daripada bingung-bingung, sebaiknya kamu simak beberapa hal berikut.

Cara Menulis Cerita Fantasi yang Meyakinkan

Apakah Kamu suka menulis cerita fantasi? Cerita fantasi haruslah meyakinkan, orisinal, dan unik. Menulis cerita fantasi adalah proyek yang rumit karena Kamu menciptakan dunia sendiri. Akan tetapi, dengan perencanaan dan pertimbangan terukur, Kamu dapat menciptakan dunia yang menarik pembaca dan terasa nyata. Artikel ini hanyalah saran saja, jika cocok gunakan, tapi jika kurang cocok tidak usah digunakan. Yuk kita simak caranya!